Rabu, 01 Februari 2012

Patrap

PATRAP
-->
 Oleh : Cahya Saputro

Kata Patrap berasal dari bahasa Jawa yang berarti sikap. Patrap adalah sikap individu dalam usahanya untuk mencapai kesempurnaan hidup atau kesejatian diri, yakni menjadi manusia yang berkarakter berketuhanan. Dimana karakter manusia  yang dimaksud, adalah yang bersikap berserah diri dalam :
·       tujuan,
·       tata cara untuk mencapai tujuan,
·       nilai / ukuran kesempurnaan akan pencapaian tujuan, serta
·       ketepatan waktu pencapaian tujuan.
Yang kesemuanya itu hanya bisa dicapai dengan berserah diri kepada Yang Diyaqini, yaitu Yang Tahu – Al Alim, Yang  Benar – Al Haqq, Yang Ada – Al Wujud, Yang SatuAhad, yakni Allah subhanallahu wata’ala.
Kenyataan adanya keempat sikap dalam upaya manusia mewujudkan cita-citanya merupakan sikap universal yang berlaku untuk siapa saja dan kapan saja. Esensi dari keempat sikap ini, sudah sejak berpuluh abad yang lalu dikuak oleh seorang Ulul Azmi yang bernama Muhammad saw. Dan alhamdulillah berita tersebut sampai kepada kita atas upaya para ulama dan tertuang dalam berbagai catatan riwayat beliau, di antaranya adalah Hadits Shahih Bukhari – Muslim, sebagaimana dikisahkan di bawah ini:
Dari Abu Hurairah ra katanya, “Pada suatu hari Rasulullah saw tampak sedang berkumpul dengan orang banyak. Sekonyong-konyong datang kepadanya seorang laki-laki, lalu bertanya, “Ya Rasulullah! Apakah yang dikatakan Iman?”
Jawab Nabi saw, “Iman ialah: Iman dengan Allah; Iman dengan para malaikat-Nya; Iman dengan Kitab-kitab-Nya; Iman akan menemui-Nya; Iman dengan para Rasul-Nya dan
Iman dengan berbangkit di akhirat.”
Dia bertanya pula, “Apakah yang dikatakan Islam?”
Jawab Rasulullah saw, “Islam ialah: menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain-lain; Menegakkan shalat fardhu; Membayar zakat wajib; Puasa Ramadhan.”
Tanyanya pula, “Ya Rasulullah! Apakah yang dikatakan Ihsan?”
Jawab Nabi saw, “Menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihatnya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Tanyanya pula, “Bilakah terjadi hari kiamat?”
Jawab Nabi saw, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang menanya. Tetapi akan kuterangkan kepadamu tanda-tandanya:
Apabila hamba sahaya perempuan telah melahirkan majikannya, itu adalah salah satu tandanya;
Apabila orang miskin yang hina dina telah menjadi pemimpin, itu juga termasuk tanda-tandanya;
Apabila gembala ternak yang hina, telah bermewah-mewah di gedung nan indah, itu pun termasuk tanda-tandanya.
Selanjutnya ada lima perkara yang tidak seorangpun dapat mengetahuinya selain Allah. Kemudian Rasulullah saw membaca ayat, “Sesungguhnya Allah, hanya Dia sajalah yang mengetahui tentang hari kiamat; dan Dia lah yang menurunkan hujan dan yang mengetahui apa yang ada dalam rahim.
Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui  apa yang akan dikerjakannya besok; dan tiada seorang pun pula yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati;
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Luqman 31:34)”
Kemudian orang itu berlalu. Maka bersabda Rasulullah saw, “Panggil orang itu kembali.”
Para sahabat berusaha mencari orang itu untuk memanggilnya kembali, tetapi mereka tidak melihatnya lagi. Maka bersabda Rasulullah saw, “Itulah Jibril as. Dia datang mengajarkan agama/ad diyn kepada anda sekalian.”
Pencapaian Nabi Muhammad saw berbeda dengan pencapaian manusia pada umumnya, yang kebanyakan terjebak ke dalam kepuasan dirinya. Sebagai contoh adalah kisah-kisah pada zaman dahulu. Pada zaman dahulu, selalu ada kelompok manusia yang dalam upaya menggapai cita-citanya memanfaatkan orang-orang yang dianggap bisa berkomunikasi  dengan Yang Kuasa. Yang Kuasa ini yang diharapkan oleh mereka untuk mewujudkan segala keinginannya. Sebagai contoh adalah mitologi Yunani dengan dewa Zeus, India dengan Bhatara Indra dan Jawa dengan Bhatara Guru. Setelah keinginan yang berupa kenikmatan duniawi tercapai, seperti menjadi raja, mereka berhenti atau terhenti karena menganggap sudah tercapai cita-citanya.
Barangkali keberadaan para dewa atau bhatara memang bertugas melaksanakan penyesatan kepada manusia agar terhenti dalam menemui Tuhan semesta alam. Bisa jadi mereka adalah utusan Sang Iblis yang memuji manusia dengan cara menghalangi dari mendapatkan kemuliaan Allah.
Pada zaman sekarang mitologi dewa, bhatara, danghyang sudah mulai ditinggalkan, karena manusia semakin percaya dengan dirinya, yaqin dengan kemampuan otak dan mampu memenuhi hasrat dengan upaya sendiri. Peran Yang Kuasa sudah mulai dikuasai oleh manusia, sehingga mereka kemudian menetapkan jalan kebenaran sendiri. Bahkan dalam melaksanakan Islam pun manusia mulai menggunakan kemampuan dirinya untuk menafsirkan perjuangan Rasulullah saw. Umat Islam cenderung menafsirkan dan bukannya berupaya memahami apa-apa yang sudah dilaksanakan dan dinasehatkan oleh Rasulullah saw. Manusia sekarang berada pada kesibukan / kehidupan otak, sedangkan kesibukan hati perlahan tapi pasti mulai ditinggalkan. Berhubung kebanyakan manusia sudah melupakan nasehat Rasulullah saw, sebagai akibatnya ilmu ini dicabut dari hati-dada manusia. Mulla ‘Ali ‘Ari menulis dalam kitabSyarh Adab Al Muridintentang nasehat Syaikh Syihabuddin Suhrawardi sebagai berikut:
Pada mulanya aku belajar dan menekuni ilm al kalam [ilmu teologi skolastik] dan menghafal banyak buku teks tentang pokok bahasan ini. Pamanku biasa melarangku dan aku tak pernah menggubris larangannya itu. Suatu hari, ia bermaksud mengunjungi SyaikhAbdulqadir Al Jilani [wafat 1266 M] dan aku juga menyertainya. Pamanku berkata kepadaku, “Jaga hati dan kalbumu! Engkau menghadap seorang yang telah berkomunikasi secara langsung dengan Tuhan dan tunggulah berkah darinya!” Ketika kami dipersilahkan duduk, pamanku berbicara kepada Syaikh, “Tuanku! Ini adalah anak saudaraku. Ia sangat ingin mempelajariilm al kalam. Aku sudah melarangnya agar tidak mempelajari karya yang tak bermanfaat itu, tetapi kata-kataku sama sekali tidak digubrisnya.” Syaikh lalu bertanya kepadaku, “Buku-buku apa saja yang telah engkau hafal?” Aku lantas menyebutkannya satu persatu. Kemudian ia meletakkan tangannya di dadaku dan mengusapnya. Demi Allah! Aku tak lagi bisa mengingat bahkan nama sebuah buku pun yang telah lama kuhafal selama hidupku dan dadaku pun dipenuhi dengan pengetahuan Ilahi, pengetahuan tentang berbagai rahasia, pengetahuan tentang hal-hal gaib. Aku pergi meninggalkannya dengan membawa lidah kebenaran agung dan mulia serta hati yang tulus dan ikhlas. Syaikh berkata, “Wahai Umar, engkaulah orang Iran terakhir yang bakal naik daun dan termasyhur.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar