Sabtu, 06 Oktober 2012

Pelatihan Patrap 6 Bulanan

BANYUWANGI 6 -7 OKTOBER 2012 

Alhamdulillah Pelaksanaan Pelatihan Patrap pagi hari ini telah dimulai. kami Panitia Pelaksana mengucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat patrapis Aceh, Medan, Palembang, Jakarta, Depok, Bandung, Tuban,Sidoarjo, Surabaya, Situbondo, Jember dan Banyuwangi. telah mengikuti pelatihan patrap enam bulanan. 

Pada pelatihan patrap tahun ini untuk patrap di alam, mengambil daerah wisata Kali Bendo dan mengenalkan sahabat - sahabat patrapis dengan adat Banyuwangi, di desa Kemiren.

sekali lagi kami ucapkan terima kasih untuk sahabat-sahabat patrapis sekalian. mohon untuk kiranya sahabat - sahabat sudi memberikan saran, pesan atau pengalaman yang dialami selama mengikuti pelatihan patrap.








FOTO BERSAMA DI WISATA KALIBENDO











FOTO DI RUMAH OSING DESA KEMIREN







FOTO DI WISATA KALIBENDO


Minggu, 22 Juli 2012

Mas Moch Saleh

Dari sumber-sumber Belanda, jelas Banyuwangi diIslamkan oleh Kumpeni. Dan semenjak diIslamkan itulah, para wali mulai muncul di Banyuwangi. Diantaranya adalah Mbah Mas Mohamad Saleh yang biasa dipanggil Mas Saleh, yang mengajarkan syariat Islam, hakekat dan makrifat, dengan bukti adanya masjid miliknya. Sampai sekarang masjid tersebut masih berdiri di daerah Sukowidi-Banyuwangi dengan nama masjid Al Mas Mochamad Saleh.
Barangkali sebagai dampak dari pemerintah Hindia Belanda yang tidak memberikan pendidikan bagi masyarakat, maka banyak lahir pelaku tasawuf. Para pelaku tasawuf di Banyuwangi pada abad XIX dan awal abad XX diantaranya adalah Mbah Mas Saleh yang senang bertapa menyendiri di sebuah bukit yang disebut Buluh Payung, di bagian barat Banyuwangi. Mbah Mas Saleh wafat pada 1918. Demikian juga RT Pringgokusumo yang menjadi bupati Banyuwangi pada 1867–1881, juga gemar bertapa di bukit Selogiri, di daerah Banyuwangi bagian utara. Hal ini berbeda dengan keadaan sekarang, dimana semua orang berlomba-lomba mengejar dan bersaing dalam bidang pendidikan dan mengejar karir duniawi, sehingga hampir tidak ada lagi para pelaku makrifatullah.
Mas Mochamad Saleh mencintai Allah melalui pendekatan makrifat, yaitu bersusah payah berupaya mendapatkan pengetahuan lebih tentang Tuhan, berupaya mengetahui struktur semesta Allah atau berupaya memahami derajat wahyu Allah. Meskipun kebanyakan manusia tidak berani atau tidak mampu memahami esensi Allah.
Dari Abu Hurairah r.a. menyatakan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa ada tujuh orang yang dinaungi Allah pada hari dimana tidak ada naungan, kecuali naungan Allah. Diantara tujuh orang tersebut adalah orang yang berdzikir hingga bercucuran air mata.
Menurut Kiai Harun dari Tukang Kayu Banyuwangi, Mbah Mas Saleh menggembleng 20 orang ulama di rumah beliau di Manggisan sebelum beliau kembali ke Allah, diantaranya adalah Kiai Kholil dari Bangkalan, Kiai Syamsul Arifin, bapak Kiai As’ad dari Situbondo. Kiai Harun mengaku sebagai yang termuda dari kedua puluh orang tersebut.
Menurut pak Janoto, seorang pendekar silat yang sampai sekarang masih hidup, Mbah Mas Saleh menyampaikan pesan kepada para sesepuh Temenggungan-Banyuwangi, bahwa ilmu tertinggi adalah ilmu Allah. Ilmu-ilmu yang lain hanyalah cabang-cabangnya saja. Dengan demikian orang-orang yang mencintai Allah akan mendapatkan karomah (kemuliaan) dan mukjizat dari Allah tanpa melakukan laku keilmuan.
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman, “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumumkan perang kepadanya. Hamba-Ku tidak mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku sukai, daripada sesuatu yang Aku fardhukan atasnya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sunat-sunat sampai Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku menjadi Pendengaran untuk pendengarannya, Penglihatan untuk penglihatannya, Tangan untuk perbuatannya dan Kaki untuknya berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku benar-benar memberinya, jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku benar-benar melindunginya. Dan Aku tidak bimbang terhadap sesuatu yang Aku lakukan, seperti kebimbangan-Ku terhadap jiwa [nafsi] hamba-Ku yang beriman yang tidak senang mati, sedang Aku tidak senang berbuat buruk terhadap-Nya.”
Hadits yang diriwayatkan baik oleh Bukhari maupun Muslim di atas, dengan jelas sekali menggambarkan kemuliaan yang dengan sendirinya akan diperoleh bagi orang yang cinta kepada Allah dan salah satunya terbukti dengan berbagai kesaksian kemuliaan yang diperoleh Mbah Mas Saleh.
Menurut Mbah Rokyan, juga seorang pendekar silat dari Singotrunan-Banyuwangi, Mbah Mas Saleh tidak tidur selama 17 tahun, sedangkan Mbah Haji Ridwan (muridnya) dari desa Kelir–Banyuwangi ketika dilatih di Watu Dodol untuk tidak tidur, hanya mampu bertahan 13 hari. 
Kenapa orang Patrap selalu membicarakan kesaktian?
Bukan karena kesaktian itu yang menjadi tujuan. Bukan pula Patrap untuk mencari kesaktian. Namun kesaktian adalah untuk menjadi saksi atas kedekatan mereka kepada Tuhan.
Tentunya Patrap tidak dicapai melalui kesadaran, tetapi Jiwa atau Sang Diri yang hadir kepada Tuhannya.

Kamis, 02 Februari 2012

Perjalanan Jiwa



PERJALANAN JIWA
(Oleh : Cahya Saputra)


Perihal perjalanan jiwa (‘aku’) ini juga sudah dijelaskan secara gamblang kepada Hudzaifah ra sebagaimana disebutkan dalam buku Mutiara Ihya Ulumuddin karya Al Ghazali berikut:
Sang diri, yang menyebut dirinya dengan ‘aku’ yang bersikap belajar (bertafakur) dan diterangi misykat cahaya Allah SWT (berdzikir) memperhatikan kertas yang halamannya hitam karena tinta. Sesungguhnya kertas tidak menghitamkan halamannya sendiri, tetapi tintalah yang melakukan. Tinta yang dikumpulkan dalam botol sebagai tempatnya menetap terpaksa pergi meninggalkan tempatnya karena paksaan oleh pena. Tinta tidak bisa mengalir keluar dari botolnya, kecuali karena adanya paksaan. Pena telah menculik tinta dari tempat menetapnya.Pena pun sesungguhnya tidak mampu melakukan apa-apa. Karena tangan dan jari lah yang menggerakkan pena dan mengarahkan tinta untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya melalui sang pena.
Tangan tidak lain hanyalah sepotong daging, darah, saraf dan tulang yang tidak mampu bergerak dengan sendirinya. Sesungguhnya tangan dan jari adalah alat yang ditundukkan dan dikendarai oleh sang penguasa yang disebut al qudrah (kekuasaan) dan al ‘izzah (keagungan). Mereka itulah yang membolak-balikkan tangan dan menggerakkannya ke segenap penjuru. Bukankah lumpur, batu dan pepohonan tidak melampaui sedikit pun tempatnya berada dan tidaklah ia bergerak dengan sendiri, apabila tidak digerakkan oleh penguasa ini, yang kuat dan perkasa.
Al qudrah sesungguhnya juga tidak menggerakkan dan tidak pula menundukkan tangan. Bahkan al qudrah tidur dengan tenang, tidur seperti mati atau bahkan tidak ada. Karena sesungguhnya al qudrah tidak bergerak dan tidak pula menggerakkan, sampai didatangi oleh seorang wakil yang mengejutkan dan memaksanya melakukan sesuatu. Al qudrah memiliki kemampuan/kekuatan untuk menolong, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk menentangnya. Wakil inilah yang disebut iradah (kehendak).

Al iradah tidak bangkit sendiri, melainkan dibangkitkan. Dia tidak bergerak, melainkan digerakkan dengan kekuasaan yang memaksa dan perintah yang pasti. Al iradah dalam keadaan tenang sebelum hati datang. Akan tetapi datang ke hadapannya, hati yang memahami ilmu karena penerangan lampu akal dengan memberikan ketentuan pada al iradah. Maka hati menentukannya dengan paksaan.

Sesungguhnya hati yang tenang ini ditundukkan di bawah paksaan ilmu dan akal. Hati tidak mengerti karena dosa apa dia jatuh padanya dan ditundukkan. Hati diharuskan menaatinya. Namun hati memahami bahwa dia berada dalam ketenangan dan ketenteraman sebelum datang padanya ilmu dan yang memaksa, serta hakim yang adil atau pun yang zalim. Hati telah diserahkan kepadanya dengan suatu penyerahan. Hati telah diharuskan manaatinya dengan suatu keharusan. Bahkan bersamaan dengan itu tidak ada lagi kemampuan baginya untuk menentangnya ketika telah diyakinkan pemahaman dan hukumnya. Demi umurku, selama hati masih berada dalam keraguan / ketidak-fahaman dan keheranan pada hukumnya, maka hati tidak merasa tenang tetapi dengan perasaan dan penantian pada hukumnya. Maka apabila telah diyakinkan hukumnya, niscaya hati dikejutkan dengan pasti dan paksaan di bawah ketaatannya. Maka hati itu menentukan untuk berdiri dengan yang diwajibkan hukumnya. Maka tanyakanlah kepada ilmu tentang ihwal hati.

Kemudian sang ‘aku’ yang memperhatikan itu berkata, ‘Engkau benar.’ Lalu ia pergi kepada akal, hati dan ilmu untuk menuntut dan mencela mereka karena telah membangkitkan al iradah dan menundukkannya kepada al qudrah.

Maka akal berkata, ‘Adapun aku, keberadaanku adalah seperti lampu. Aku tidak menyala sendiri. Melainkan aku dinyalakan.’

Hati berkata, ‘Adapun aku, keberadaanku adalah seperti papan tulis. Aku tidak terbentang sendiri. Melainkan dibentangkan.’

Ilmu pun berkata, ‘Adapun aku, keberadaanku adalah seperti ukiran. Aku diukirkan pada putihnya papan tulis yaitu hati, ketika lampu akal menyala cemerlang. Aku tidak tergores sendiri. Betapa banyak papan tulis yang sebelumnya luput daripadaku. Maka tanyakanlah kepada pena tentang diriku. Karena, sesungguhnya garis-garis itu tidak terbentuk kecuali dengan pena.’

Maka ketika itu berguncanglah ‘aku’ yang bertanya dan merasa tidak puas dengan jawaban-jawaban itu. Ia berkata, ‘Telah lama jerih payahku pada jalan ini dan telah banyak pula tempat-tempatku. Senantiasa aku dibingungkan oleh yang aku harapkan darinya untuk mengetahui perkara ini dari yang lain. Akan tetapi aku menghibur hatiku dengan banyaknya mondar-mandir, ketika aku mendengar sebuah perbincangan yang dapat diterima dalam hati dan alasan yang jelas untuk menolak pertanyaan.’

‘Adapun perkataanmu, ‘Sesungguhnya aku ini adalah garis dan ukiran, dan sesungguhnya aku ini adalah digoreskan oleh pena,’ maka itu tak bisa difahami. Sesungguhnya aku tidak mengenal pena melainkan terbuat dari bambu. Aku tidak mengenal papan tulis melainkan ia terbuat dari besi atau kayu. Aku tidak mengenal garis melainkan ia terbuat dengan pena. Aku tidak mengenal lampu, melainkan ia terbentuk dari api. Sesungguhnya di tempat ini aku mendengar percakapan papan, lampu, garis dan pena, tetapi aku tidak menyaksikan sesuatu pun darinya. Aku juga mendengar suara gilingan tetapi aku tidak melihat sesuatu yang digiling.”

Kemudian ilmu berkata kepada penanya itu, “kalau engkau benar dengan apa yang engkau ucapkan, maka harta bendamu itu bercampur dan bekalmu itu sedikit. Kendaraanmu itu lemah. Ketahuilah bahwasanya kebinasaan-kebinasaan di jalan yang engkau hadapi itu banyak jumlahnya. Maka yang benar bagimu adalah apabila engkau berpaling dan meninggalkan tempat engkau berada. Maka segala sesuatu itu dimudahkan bagi tujuan penciptaannya. Kalau engkau senang menyelesaikan perjalanan menuju tujuan, maka pasanglah pendengaranmu dan senantiasa menyaksikan.

Ketahuilah bahwasanya alam-alam di jalanmu adalah tiga, yaitu:
v Alam al mulk wa asy syahadah
Itulah yang pertama. Adapun kertas, tinta, pena dan tangan berada pada alam ini. Engkau telah melalui tempat-tempat itu dengan mudah. Setiap yang berjalan di atas bumi, maka ia berjalan di alam al mulk wa asy syahadah.
v Alam Jabarut
Itu adalah yang kedua. Alam Jabarut berada di antara alam mulk dan alam malakut. Engkau telah menempuh darinya tiga tempat. Pada permulaannya adalah tempat al qudrah, al iradah dan ilmu. Sesungguhnya alam Jabarut yang berada di antara alam Mulk dan alam Malakut adalah ibarat perahu, dimana hal itu berada dalam gerakan antara bumi dan air. Hal itu berada dalam batas goncangan air, bukan pada batas ketenangan dan tetapnya bumi. Maka apabila kekuatan orang itu berlebih hingga mampu mengendarai perahu itu, maka ia adalah seperti orang yang berjalan di alam Jabarut.
v Alam Malakut.
Alam itu dibelakangku. Apabila engkau dapat melewatiku, niscaya engkau sampai ke tempat itu. Pada tempat itu adalah lembah yang penuh kenikmatan, jurang yang menakutkan, padang pasir yang membosankan, gunung-gunung riya’, rimba pamer, lautan kesombongan dan kota keakuan. Aku tidak mengerti, bagaimanakah engkau akan bisa selamat darinya. Perjalanan di alam Malakut lebih sukar daripada perjalanan di alam Jabarut. Apabila ia mampu berjalan di atas air tanpa menggunakan perahu, maka ia telah berjalan di alam Malakut tanpa ada goncangan. Apabila engkau tidak mampu berjalan di atas air, maka hendaklah engkau berpaling. Engkau telah melewati bumi dan membelakangi perahu. Tidak ada lagi di hadapanmu kecuali air yang jernih.
Permulaan alam Malakut adalah musyahadah al qalam (menyaksikan al qalam) yang dipergunakan untuk menulis ilmu pada papan tulis hati. Maka diperolehlah keyakinan, yang dengan keyakinan itu, ia berjalan di atas air. Apakah engkau tidak mendengar sabda Rasulullah saw tentang Nabi Isa as, “Seandainya Isa keyakinannya bertambah, niscaya ia dapat berjalan di udara.”, yaitu ketika dikatakan kepadanya bahwa ia dapat berjalan di atas air.
Maka sang ‘aku’ yang bertanya itu akhirnya berkata, “Sungguh aku heran tentang urusanku dan hatiku merasa takut terhadap yang engkau sifatkan dari bahayanya perjalanan. Aku tidak tahu, apakah aku mampu menempuh padang pasir yang engkau sifatkan itu atau tidak? Apakah yang demikian itu memiliki tanda?”
Maka ilmu menjawab, “Benar ada.” “Bukalah pandangan matamu dan kumpulkan sinar cahaya kedua matamu dan biji matamu ke arahku. Maka apabila tampak bagimu al qalam yang dipergunakan untuk menulis pada papan tulis hati, maka engkau hampir berhasil menempuh jalan ini, karena setiap orang yang melewati alam Jabarut dan mengetuk salah satu pintu-pintu malakut, niscaya dibukakan baginya dengan pena. Tidakkah kita perhatikan bahwa Rasulullah saw pada permulaan urusannya dibukakan dengan al qalam, yaitu ketika turun kepadanya ayatQS Al-‘Alaq 96: 1 – 5,
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang Menciptakan,
Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
Yang mengajar insan dengan kalam,
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Maka sang ‘aku’ itu berkata, “Engkau telah membuka pandangan mataku dan bijinya. 

Demi Allah, aku tidak melihat sebatang bambu dan sebatang kayu. Aku tidak melihat pena kecuali yang seperti ini.”

Maka ilmu berkata, “Engkau telah pergi jauh mencari sesuatu pada tempatnya. Apakah engkau tidak mendengar bahwa harta benda rumah itu menyerupai pemilik rumah? Apakah engkau tidak tahu bahwa Allah swt tidak menyerupai dzat-Nya pada zat-zat lain? Demikian pula tangan Allah tidak menyerupai tangan-tangan makhluk. Qalam-Nya tidak menyerupai pena-pena yang lain. Pembicaraan Allah tidak menyerupai pembicaraan-pembicaraan yang lain. Garis tulisan-Nya tidak menyerupai garis-garis tulisan lain.

Urusan-urusan ketuhanan ini datang dari alam malakut. Maka tidak ada tubuh pada dzat Allah. Allah tidak berada pada suatu tempat, berbeda dengan selain-Nya. Tangan-Nya bukanlah daging, tulang dan darah, berbeda dengan tangan-tangan yang lain. Qalam-Nya bukanlah dari bambu. Papan tulis-Nya bukanlah dari kayu. Pembicaraan-Nya bukan dengan suara dan huruf. Garis tulisan-Nya bukanlah angka dan tulisan. Tinta-Nya bukanlah garam dan kelat.

Kalau engkau tidak menyaksikannya seperti ini, maka aku tidak melihatmu melainkan seorang banci diantara tanzih (transenden) dan tasybih (imanen) yang bolak-balik antara ini dan itu, tidak kepada mereka yang ini dan tidak pula kepada mereka yang itu. Bagaimanakah engkau menyucikan zat dan sifat Allah swt dari jisim dan sifat-sifat-Nya? Bagaimanakah engkau menyucikan kalam Allah dari makna-makna huruf dan suara, serta berhenti pada pada tangan, pena, papan tulis dan garis-Nya?

Apabila engkau memahami dari sabda Rasulullah saw, ‘Sesungguhnya Allah SWT menciptakan Adam menurut bentuk (fitrah)-nya,’ bentuk lahir yang dapat ditangkap oleh pandangan mata, maka engkau adalah orang yang menyerupakan secara mutlak, sebagaimana dikatakan, ‘Jadilah engkau orang Yahudi sejati. Jika tidak, maka janganlah engkau mempermainkan Taurat.’ Kalau kita memahami dari sabda itu ‘bentuk’ batin yang dapat ditangkap dengan pandangan hati, bukan dengan pandangan mata, maka kita telah menyucikan Allah secara murni dan telah mengkuduskan-Nya secara nyata.

Pendekkanlah jalan, karena sesungguhnya engkau berada di lembah Tuhan yang disucikan. Dengarkanlah dengan bathinmu apa yang diwahyukan kepadamu. Maka barangkali menemukan petunjuk di atas api. Barangkali engkau dipanggil dari kemah ‘Arsy dengan apa yang dipanggilkan kepada Nabi Musa as, Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu ... (QS Thaha 20: 12).

Ketika sang ‘aku’ itu mendengar ilmu yang demikian, maka ia merasakan kelengahan dirinya. Sesungguhnya ia adalah banci diantara tasybih (imanen) dan tanzih (transenden). Maka hatinya menyala menjadi api karena besarnya amarah pada dirinya sendiri ketika ia melihatnya dengan mata kekurangan.

Minyaknya yang terdapat dalam lubuk hatinya yang tidak tembus telah hampir menerangi, sekalipun tidak tersentuh api. Maka ketika ilmu meniup padanya dengan ketajamannya, maka minyak itu pun menyala. Kemudian ia menjadi cahaya di atas cahaya. Kemudian ilmu berkata kepadanya, “Pergunakanlah kesempatan ini sekarang dan bukalah matamu, barangkali engkau menemukan petunjuk pada api itu.”

Kemudian ia membuka matanya, maka dibukakan baginya Qalam Ilahiah. Tiba-tiba hal itu tampak seperti yang disifatkan ilmu dalam penyucian. Qalam itu bukanlah terbuat dari bambu dan bukan pula dari batang kayu, tidak mempunyai kepala dan tidak pula mempunyai ekor. Senantiasa ia menuliskan bermacam-macam ilmu dalam hati semua manusia. Seolah-olah dia memiliki kepala Qalam pada setiap hati, sedangkan ia sendiri tak memilki kepala.

Maka berlalulah keheranan dari sang ‘aku’ itu. Ia berkata, “sebaik-baik teman adalah ilmu. Maka semoga Allah membalasnya dengan kebaikan jasanya padaku. Karena, kini telah jelas bagiku akan kebenaran ceritanya tentang sifat-sifat Qalam. Maka sesungguhnya, aku melihatnya sebagai Qalam, bukan pena-pena yang lain.” Maka pada saat itu ia berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada ilmu. Ia berkata, “Aku telah lama berada padamu dan mondar-mandir kepadamu. Aku sekarang berazam untuk berkelana kepada junjungan Qalam dan menanyakan tentang ihwalnya.”

Maka ia berkelana dan berkata kepadanya, “Bagaimanakah keadaanmu? Engkau senantiasa menuliskan ke dalam diri (hati) bermacam-macam ilmu dan pengetahuan yang membangkitkan al iradah kepada al qadar dan meneruskannya kepada yang ditakdirkan.”

Kemudian Al Qalam menjawab pertanyaan sang diri, “Apakah engkau lupa terhadap yang engkau lihat di alam mulk wa asy syahadah dan engkau mendengar dari jawaban pena ketika engkau menanyakannya, kemudian engkau dipindahkan kepada tangan?”
Maka ia menjawab, “Aku tidak melupakan hal itu.”
Al Qalam berkata lagi, “Maka jawaban itu seperti jawabannya.”
Sang ‘aku’ itu bertanya, “Bagaimanakah engkau tidak menyerupakannya?”
Al Qalam balik bertanya, “Apakah tidak mendengar bahwa Allah swt telah menciptakan Adam menurut bentuknya?”
Sang ‘aku’ itu menjawab, “Benar.”
Maka Al Qalam berkata, “Maka tanyakanlah tentang diriku yang digelar dengan tangan kanan Raja (Al Malik). Maka sesungguhnya aku berada dalam genggaman-Nya. Raja itulah yang membolak-balikkanku. Aku dipaksa dan ditundukkan. Maka tidak ada bedanya antara Qalam Ilahi dan pena manusia dalam arti sama-sama ditundukkan. Sesungguhnya perbedaannya dalam bentuk saja.”
Sang ‘aku’ itu bertanya, “Maka siapakah Tangan Kanan Raja (Al Malik) itu?”
Qalam balik bertanya, “Apakah kamu tidak mendengar firman Allah SWT, dan langit digulung dengan Tangan Kanan-Nya?’ QS Az Zumar 39 : 67.
Sang ‘aku’ itu menjawab, “Ya.”
Selanjutnya Qalam itu bertanya, “Qalam-qalam seluruhnya juga berada dalam genggaman Tangan Kanan-Nya. Dialah yang membolak-balikkannya,”

Kemudian dari sisi Al Qalam, sang ‘aku’ itu pergi menuju Tangan Kanan, sehingga ia disaksikan. Dari keajaiban-keajaibannya ia melihat sesuatu yang menambah keajaiban Al Qalam. Tidak boleh menyifatkan sesuatu dari yang demikian. Juga tidak boleh menjelaskannya. Akan tetapi berjilid-jilid yang banyak tidak memuat sepersepuluhnya. Kesimpulannya, bahwa itu di Tangan Kanan, yang tidak seperti tangan kanan – tangan kanan yang lain dan jarinya pun tidak seperti jari-jemari yang lain. Maka ia melihat Al Qalam itu bergerak-gerak dalam Genggaman-Nya. Sehingga jelaslah baginya alasan Al Qalam. Kemudian ia bertanya kepada Tangan Kanan tentang keadaannya dan sebabnya menggerakkan Al Qalam.

Maka Tangan Kanan itu menjawab, “Jawabanku adalah seperti yang engkau telah dengar dari tangan kanan yang engkau lihat di alam syahadah, yaitu penyerahan kepada Al Qudrah. Karena Tangan Kanan itu tidak mempunyai hukum pada dirinya sendiri. Sesungguhnya yang menggerakkan Tangan adalah Al Qudrah secara pasti.”

Maka sang ‘aku’ itu berkelana ke alam Al Qudrah. Dari keajaiban-keajaibannya ia melihat sesuatu yang dipandang hina oleh apa yang dipandang sebelumnya. Ia ditanya tentang sebabnya menggerakkan Tangan Kanan.

Al Qudrah menjawab, “Sesungguhnya aku hanyalah sifat. Tanyakanlah hal itu kepada Pemilik sifat Al Qudrah. Karena yang dipegang adalah kepada yang disifati, bukan kepada sifat. Ketika itu, ia hampir tergelincir dan melepaskan lisan pertanyaan dengan berani. Ia diseru dari belakang dinding kemah junjungan Ilahi, ‘Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, namun merekalah yang akan ditanyai.’ QS Al Anbiya 21: 23.
Maka ia jatuh pingsan karena hebatnya ketakutan kepada junjungan Ilahi. Lalu ia jatuh tersungkur dengan gemetar tubuhnya. Setelah sadar, ia berkata, “Maha Suci Allah, alangkah Agung Keadaan-Mu. Aku bertaubat kepada-Mu. Aku bertawakkal kepada-Mu. Aku yaqin bahwa Engkau adalah Raja, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Esa dan Yang Maha Kuasa. Maka aku tidak takut kepada selain-Mu. Aku tidak mengharap kepada selain-Mu. Aku tidak berlindung kecuali dengan pengampunan-Mu dari siksaan-Mu dan dengan keridhaan-Mu dari murka-Mu.”

Rabu, 01 Februari 2012

Nasehat

PATRAP
-->
Oleh : Cahya Saputro


Salam,

Allah, Tuhan semesta alam menciptakan dan menyempurnakan alam semesta ini demi untuk manusia. Bagaimana tidak, Dia menggelar apa-apa yang di bumi dan di langit untuk menyenangkan manusia. Dia juga mengembangkan peradaban, semata-mata untuk lebih menambah kenikmatan untuk manusia. Perhatikanlah, Dia memberikan kenikmatan melalui mata, perut, tubuh, pendengaran, perasaan, rasional, jiwa dll. Oleh karena itu, sudah sepantasnya, Allah, Tuhan semesta alam menuntut agar manusia beribadah hanya kepada-Nya. Qur’an Surat Adz Dzariyyat 51: 56 - Tidaklah Kuciptakan Jin dan Manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku. InjilMatius Pasal 4 ayat 10 – maka berkatalah Yesus kepadanya, “Enyahlah Iblis! Sebab ada tertulis, “Engkau harus menyembah Tuhan, Allah-mu dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!”

Hakekat Manusia

PATRAP
-->
Oleh : Cahya Saputro


Salam,

Pernah kudengarkan dialog yang membuat takjub, yaitu ketika ada orang yang merasa dirinya seseorang, yang mengaku dari Gresik datang menemui orang tua. Dia bercerita bahwa dia berkali-kali bermimpi ditunjuk oleh Bung Karno untuk menggantikannya. Bahkan dalam salah satu mimpinya yang paling fenomenal adalah mi’raj ke langit. Dalam mi’rajnya ke langit, di setiap langit dia berjumpa dengan salah satu Nabi sebagaimana dikisahkan dalam hadits. Setiap Nabi yang ditemuinya selalu bertanya, “Surya, kamu mau kemana?” Dan dia selalu konsisten menjawab, “Aku mau ke Allah.”

Hadiah Untuk Orang-Orang Patrap

PATRAP
-->
Oleh : Cahya Saputro


Perjuangan dalam menyempurnakan diri melalui sikap diri yang seperti ini akan menghasilkan akhlaq tawakkal yang menurunkan akhlak mulia lainnya. Sebagaimana dikisahkan dalam hadits berikut:
Malaikat Jibril berkunjung ke tempat Rasulullah saw, “Ya Muhammad, ALLAH mengutusku untuk menyampaikan sebuah hadiah yang tidak pernah diberikan-Nya kepada siapapun sebelum kamu.”
Hadiah apa itu wahai Jibril?” tanya Muhammad ingin tahu.
Sifat sabar. Dan ada yang lebih baik dari itu.”
Apa itu hai Jibril?”
Sifat qana’ah. Dan ada yang lebih baik dari itu.”
Apa itu hai Jibril?”
Sifat ridha. Dan ada yang lebih baik dari itu.”
Apa itu hai Jibril?”

Patrap

PATRAP
-->
 Oleh : Cahya Saputro

Kata Patrap berasal dari bahasa Jawa yang berarti sikap. Patrap adalah sikap individu dalam usahanya untuk mencapai kesempurnaan hidup atau kesejatian diri, yakni menjadi manusia yang berkarakter berketuhanan. Dimana karakter manusia  yang dimaksud, adalah yang bersikap berserah diri dalam :
·       tujuan,
·       tata cara untuk mencapai tujuan,
·       nilai / ukuran kesempurnaan akan pencapaian tujuan, serta
·       ketepatan waktu pencapaian tujuan.