-->
Kata Patrap
berasal dari bahasa Jawa yang berarti sikap. Patrap adalah
sikap individu dalam usahanya untuk mencapai kesempurnaan hidup atau kesejatian diri, yakni menjadi
manusia yang berkarakter berketuhanan. Dimana karakter manusia yang dimaksud, adalah yang bersikap berserah diri dalam
:
·
tujuan,
·
tata cara
untuk mencapai tujuan,
·
nilai / ukuran kesempurnaan akan pencapaian tujuan, serta
Yang kesemuanya itu hanya bisa dicapai
dengan berserah diri kepada Yang Diyaqini, yaitu Yang Tahu – Al Alim, Yang Benar – Al Haqq, Yang Ada – Al Wujud, Yang Satu – Ahad, yakni
Allah subhanallahu wata’ala.
Kenyataan adanya
keempat sikap dalam upaya manusia
mewujudkan cita-citanya merupakan sikap universal yang berlaku untuk siapa
saja dan kapan saja. Esensi
dari keempat sikap ini, sudah
sejak berpuluh abad yang lalu dikuak oleh seorang
Ulul Azmi yang bernama Muhammad saw. Dan alhamdulillah
berita tersebut sampai kepada kita
atas upaya para ulama dan
tertuang dalam berbagai catatan riwayat beliau, di antaranya adalah
Hadits Shahih Bukhari – Muslim, sebagaimana dikisahkan di bawah
ini:
Dari Abu Hurairah ra katanya,
“Pada suatu hari Rasulullah saw tampak sedang berkumpul
dengan orang banyak. Sekonyong-konyong datang kepadanya
seorang laki-laki, lalu bertanya, “Ya Rasulullah! Apakah yang dikatakan Iman?”
Jawab Nabi
saw, “Iman ialah: Iman dengan Allah; Iman dengan para
malaikat-Nya; Iman dengan Kitab-kitab-Nya; Iman akan
menemui-Nya; Iman dengan para Rasul-Nya
dan
Iman dengan
berbangkit di akhirat.”
Dia bertanya
pula, “Apakah yang dikatakan
Islam?”
Jawab Rasulullah
saw, “Islam ialah: menyembah
Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang
lain-lain; Menegakkan shalat
fardhu; Membayar zakat wajib; Puasa
Ramadhan.”
Tanyanya pula, “Ya Rasulullah! Apakah yang dikatakan
Ihsan?”
Jawab Nabi
saw, “Menyembah Allah seolah-olah
engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihatnya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Tanyanya pula, “Bilakah terjadi hari kiamat?”
Jawab Nabi
saw, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu
daripada yang menanya. Tetapi akan
kuterangkan kepadamu tanda-tandanya:
Apabila hamba
sahaya perempuan telah melahirkan majikannya, itu adalah salah satu
tandanya;
Apabila orang
miskin yang hina dina telah
menjadi pemimpin, itu juga termasuk
tanda-tandanya;
Apabila gembala
ternak yang hina, telah bermewah-mewah di gedung nan indah, itu pun termasuk tanda-tandanya.
Selanjutnya ada
lima
perkara yang tidak seorangpun dapat mengetahuinya selain Allah. Kemudian Rasulullah saw membaca ayat, “Sesungguhnya Allah, hanya Dia sajalah
yang mengetahui tentang hari kiamat; dan
Dia lah yang menurunkan hujan dan yang mengetahui apa yang ada dalam
rahim.
Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dikerjakannya besok; dan tiada
seorang pun pula yang dapat
mengetahui di bumi mana ia
akan mati;
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Luqman 31:34)”
Kemudian orang
itu berlalu. Maka
bersabda Rasulullah saw, “Panggil orang itu
kembali.”
Para sahabat berusaha mencari orang itu
untuk memanggilnya kembali, tetapi mereka tidak melihatnya
lagi. Maka bersabda Rasulullah
saw, “Itulah Jibril as.
Dia datang mengajarkan agama/ad diyn kepada anda
sekalian.”
Pencapaian Nabi
Muhammad saw berbeda dengan
pencapaian manusia pada umumnya, yang kebanyakan terjebak ke dalam kepuasan
dirinya. Sebagai contoh adalah kisah-kisah pada zaman dahulu. Pada zaman dahulu,
selalu ada kelompok manusia yang dalam upaya menggapai
cita-citanya memanfaatkan orang-orang yang dianggap bisa berkomunikasi dengan Yang Kuasa. Yang Kuasa
ini yang diharapkan oleh mereka untuk
mewujudkan segala keinginannya. Sebagai contoh adalah mitologi Yunani dengan dewa Zeus , India
dengan Bhatara Indra dan Jawa
dengan Bhatara Guru.
Setelah keinginan yang berupa kenikmatan duniawi tercapai, seperti menjadi raja, mereka berhenti atau terhenti
karena menganggap sudah tercapai cita-citanya.
Barangkali keberadaan
para dewa atau bhatara memang
bertugas melaksanakan penyesatan kepada manusia agar terhenti dalam menemui Tuhan
semesta alam. Bisa
jadi mereka adalah utusan Sang Iblis yang memuji manusia dengan cara menghalangi
dari mendapatkan kemuliaan Allah.
Pada zaman sekarang mitologi dewa, bhatara, danghyang sudah mulai ditinggalkan, karena manusia semakin percaya dengan dirinya, yaqin dengan kemampuan
otak dan mampu memenuhi hasrat dengan upaya
sendiri. Peran Yang Kuasa sudah
mulai dikuasai oleh manusia, sehingga
mereka kemudian menetapkan jalan kebenaran sendiri. Bahkan dalam melaksanakan
Islam pun manusia mulai menggunakan kemampuan dirinya untuk menafsirkan
perjuangan Rasulullah saw. Umat Islam cenderung menafsirkan dan bukannya berupaya memahami apa-apa yang sudah dilaksanakan dan dinasehatkan oleh Rasulullah saw. Manusia sekarang berada pada kesibukan / kehidupan otak, sedangkan kesibukan hati perlahan tapi
pasti mulai ditinggalkan. Berhubung kebanyakan manusia sudah melupakan nasehat Rasulullah saw, sebagai akibatnya ilmu ini dicabut
dari hati-dada manusia. Mulla ‘Ali ‘Ari menulis
dalam kitab ‘Syarh Adab Al Muridin’
tentang nasehat Syaikh Syihabuddin Suhrawardi sebagai berikut:
Pada mulanya
aku belajar dan menekuni ilm
al kalam [ilmu teologi skolastik] dan menghafal banyak
buku teks tentang pokok bahasan
ini. Pamanku biasa melarangku
dan aku tak
pernah menggubris larangannya itu. Suatu hari, ia bermaksud mengunjungi Syaikh ‘Abdulqadir Al Jilani [wafat 1266 M] dan aku juga menyertainya.
Pamanku berkata kepadaku, “Jaga hati dan kalbumu!
Engkau menghadap seorang yang telah berkomunikasi secara langsung dengan Tuhan dan
tunggulah berkah darinya!” Ketika kami dipersilahkan
duduk, pamanku berbicara kepada Syaikh, “Tuanku! Ini adalah anak saudaraku.
Ia sangat
ingin mempelajari ‘ilm al kalam. Aku
sudah melarangnya agar tidak mempelajari karya yang tak bermanfaat itu, tetapi kata-kataku sama sekali tidak
digubrisnya.” Syaikh lalu bertanya kepadaku,
“Buku-buku apa saja yang telah engkau hafal?” Aku lantas menyebutkannya satu persatu. Kemudian ia
meletakkan tangannya di dadaku dan
mengusapnya. Demi Allah! Aku tak lagi
bisa mengingat bahkan nama
sebuah buku pun yang telah lama kuhafal selama hidupku dan dadaku pun dipenuhi dengan pengetahuan Ilahi, pengetahuan tentang berbagai rahasia, pengetahuan tentang hal-hal gaib. Aku pergi
meninggalkannya dengan membawa lidah kebenaran
agung dan mulia serta hati
yang tulus dan ikhlas. Syaikh berkata, “Wahai
Umar, engkaulah orang Iran
terakhir yang bakal naik daun dan
termasyhur.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar