Pada awalnya,
kami merenung bagaimana harus bermakrifat kepada Allah, Tuhan semesta alam. Kami
tidak tahu caranya, hanya dengan bermodalkan tekad dan tawadhu, tidak ada yang
lain, hanya lurus kepada-Nya, dengan kesungguhan, dengan sepenuh jiwa dan raga.
Kemudian kami
merenungkan, siapakah guru yang bisa membimbing? Siapakah guru yang terhebat? Kami berguru kepada A, bisa jadi
B lebih hebat daripada A, tetapi mungkin C lebih
hebat daripada B, demikian seterusnya. Jadi tidak ada lagi yang terhebat,
selain Tuhan semesta alam, yaitu Allah sendiri. Sehingga kami memutuskan untuk bermakrifat
kepada Allah dengan berguru kepada Allah sendiri.
Kami juga
berpendapat bahwa tiada guru kehidupan selain Allah sendiri. Dialah guru bagi
alam semesta, tiada manusia yang mampu menggurui, sebab hakikinya Allah yang
mengajarkan apa-apa yang tidak diketahui oleh manusia.
Ternyata pendapat kami diperkuat oleh QS Al Alaq 96 ayat 3-5:
Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Selain keinginan
mencari guru yang terhebat, pengaruh lingkungan juga memberi motivasi dalam
perjalanan orang yang bodoh, yang tidak mengerti mengenai keIslaman, juga tidak
bisa membaca Al Qur’an, untuk bermakrifat kepada Allah.
Seringkali
terbersit dalam hati, apakah tidak boleh orang yang bodoh dan tidak bisa
membaca Al Qur’an mendekatkan diri kepada Allah, menikmati keIslaman, menikmati
ibadah naik haji? Seperti juga seorang pelacur, apakah tidak boleh menikmati
surga? Sedangkan kami mendengar bahwa seorang pelacur yang masuk ke dalam
sumur, kemudian mengambil air untuk memberi minum anjing dengan sepatunya,
dimasukkan ke dalam Surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar