PERJALANAN JIWA
(Oleh : Cahya Saputra)
Perihal
perjalanan jiwa (‘aku’) ini juga sudah dijelaskan secara gamblang
kepada Hudzaifah ra sebagaimana disebutkan dalam buku Mutiara Ihya
Ulumuddin karya Al Ghazali berikut:
Sang
diri, yang menyebut dirinya dengan ‘aku’ yang bersikap belajar
(bertafakur) dan diterangi misykat cahaya Allah SWT (berdzikir)
memperhatikan kertas yang halamannya hitam karena tinta. Sesungguhnya
kertas tidak menghitamkan halamannya sendiri, tetapi tintalah yang
melakukan. Tinta yang dikumpulkan dalam botol sebagai tempatnya menetap
terpaksa pergi meninggalkan tempatnya karena paksaan oleh pena. Tinta
tidak bisa mengalir keluar dari botolnya, kecuali karena adanya paksaan.
Pena telah menculik tinta dari tempat menetapnya.Pena pun sesungguhnya
tidak mampu melakukan apa-apa. Karena tangan dan jari lah yang
menggerakkan pena dan mengarahkan tinta untuk melaksanakan apa yang
dikehendakinya melalui sang pena.
Tangan
tidak lain hanyalah sepotong daging, darah, saraf dan tulang yang tidak
mampu bergerak dengan sendirinya. Sesungguhnya tangan dan jari adalah
alat yang ditundukkan dan dikendarai oleh sang penguasa yang disebut al
qudrah (kekuasaan) dan al ‘izzah (keagungan). Mereka itulah yang
membolak-balikkan tangan dan menggerakkannya ke segenap penjuru.
Bukankah lumpur, batu dan pepohonan tidak melampaui sedikit pun
tempatnya berada dan tidaklah ia bergerak dengan sendiri, apabila tidak
digerakkan oleh penguasa ini, yang kuat dan perkasa.
Al
qudrah sesungguhnya juga tidak menggerakkan dan tidak pula menundukkan
tangan. Bahkan al qudrah tidur dengan tenang, tidur seperti mati atau
bahkan tidak ada. Karena sesungguhnya al qudrah tidak bergerak dan tidak
pula menggerakkan, sampai didatangi oleh seorang wakil yang mengejutkan
dan memaksanya melakukan sesuatu. Al qudrah memiliki kemampuan/kekuatan
untuk menolong, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk menentangnya.
Wakil inilah yang disebut iradah (kehendak).
Al
iradah tidak bangkit sendiri, melainkan dibangkitkan. Dia tidak
bergerak, melainkan digerakkan dengan kekuasaan yang memaksa dan
perintah yang pasti. Al iradah dalam keadaan tenang sebelum hati datang.
Akan tetapi datang ke hadapannya, hati yang memahami ilmu karena
penerangan lampu akal dengan memberikan ketentuan pada al iradah. Maka
hati menentukannya dengan paksaan.
Sesungguhnya
hati yang tenang ini ditundukkan di bawah paksaan ilmu dan akal. Hati
tidak mengerti karena dosa apa dia jatuh padanya dan ditundukkan. Hati
diharuskan menaatinya. Namun hati memahami bahwa dia berada dalam
ketenangan dan ketenteraman sebelum datang padanya ilmu dan yang
memaksa, serta hakim yang adil atau pun yang zalim. Hati telah
diserahkan kepadanya dengan suatu penyerahan. Hati telah diharuskan
manaatinya dengan suatu keharusan. Bahkan bersamaan dengan itu tidak ada
lagi kemampuan baginya untuk menentangnya ketika telah diyakinkan
pemahaman dan hukumnya. Demi umurku, selama hati masih berada dalam
keraguan / ketidak-fahaman dan keheranan pada hukumnya, maka hati tidak
merasa tenang tetapi dengan perasaan dan penantian pada hukumnya. Maka
apabila telah diyakinkan hukumnya, niscaya hati dikejutkan dengan pasti
dan paksaan di bawah ketaatannya. Maka hati itu menentukan untuk berdiri
dengan yang diwajibkan hukumnya. Maka tanyakanlah kepada ilmu tentang
ihwal hati.
Kemudian
sang ‘aku’ yang memperhatikan itu berkata, ‘Engkau benar.’ Lalu ia
pergi kepada akal, hati dan ilmu untuk menuntut dan mencela mereka
karena telah membangkitkan al iradah dan menundukkannya kepada al
qudrah.
Maka akal berkata, ‘Adapun aku, keberadaanku adalah seperti lampu. Aku tidak menyala sendiri. Melainkan aku dinyalakan.’
Hati berkata, ‘Adapun aku, keberadaanku adalah seperti papan tulis. Aku tidak terbentang sendiri. Melainkan dibentangkan.’
Ilmu
pun berkata, ‘Adapun aku, keberadaanku adalah seperti ukiran. Aku
diukirkan pada putihnya papan tulis yaitu hati, ketika lampu akal
menyala cemerlang. Aku tidak tergores sendiri. Betapa banyak papan tulis
yang sebelumnya luput daripadaku. Maka tanyakanlah kepada pena tentang
diriku. Karena, sesungguhnya garis-garis itu tidak terbentuk kecuali
dengan pena.’
Maka
ketika itu berguncanglah ‘aku’ yang bertanya dan merasa tidak puas
dengan jawaban-jawaban itu. Ia berkata, ‘Telah lama jerih payahku pada
jalan ini dan telah banyak pula tempat-tempatku. Senantiasa aku
dibingungkan oleh yang aku harapkan darinya untuk mengetahui perkara ini
dari yang lain. Akan tetapi aku menghibur hatiku dengan banyaknya
mondar-mandir, ketika aku mendengar sebuah perbincangan yang dapat
diterima dalam hati dan alasan yang jelas untuk menolak pertanyaan.’
‘Adapun
perkataanmu, ‘Sesungguhnya aku ini adalah garis dan ukiran, dan
sesungguhnya aku ini adalah digoreskan oleh pena,’ maka itu tak bisa
difahami. Sesungguhnya aku tidak mengenal pena melainkan terbuat dari
bambu. Aku tidak mengenal papan tulis melainkan ia terbuat dari besi
atau kayu. Aku tidak mengenal garis melainkan ia terbuat dengan pena.
Aku tidak mengenal lampu, melainkan ia terbentuk dari api. Sesungguhnya
di tempat ini aku mendengar percakapan papan, lampu, garis dan pena,
tetapi aku tidak menyaksikan sesuatu pun darinya. Aku juga mendengar
suara gilingan tetapi aku tidak melihat sesuatu yang digiling.”
Kemudian
ilmu berkata kepada penanya itu, “kalau engkau benar dengan apa yang
engkau ucapkan, maka harta bendamu itu bercampur dan bekalmu itu
sedikit. Kendaraanmu itu lemah. Ketahuilah bahwasanya
kebinasaan-kebinasaan di jalan yang engkau hadapi itu banyak jumlahnya.
Maka yang benar bagimu adalah apabila engkau berpaling dan meninggalkan
tempat engkau berada. Maka segala sesuatu itu dimudahkan bagi tujuan
penciptaannya. Kalau engkau senang menyelesaikan perjalanan menuju
tujuan, maka pasanglah pendengaranmu dan senantiasa menyaksikan.
Ketahuilah bahwasanya alam-alam di jalanmu adalah tiga, yaitu:
v Alam al mulk wa asy syahadah
Itulah
yang pertama. Adapun kertas, tinta, pena dan tangan berada pada alam
ini. Engkau telah melalui tempat-tempat itu dengan mudah. Setiap yang
berjalan di atas bumi, maka ia berjalan di alam al mulk wa asy syahadah.
v Alam Jabarut
Itu
adalah yang kedua. Alam Jabarut berada di antara alam mulk dan alam
malakut. Engkau telah menempuh darinya tiga tempat. Pada permulaannya
adalah tempat al qudrah, al iradah dan ilmu. Sesungguhnya alam Jabarut
yang berada di antara alam Mulk dan alam Malakut adalah ibarat perahu,
dimana hal itu berada dalam gerakan antara bumi dan air. Hal itu berada
dalam batas goncangan air, bukan pada batas ketenangan dan tetapnya
bumi. Maka apabila kekuatan orang itu berlebih hingga mampu mengendarai
perahu itu, maka ia adalah seperti orang yang berjalan di alam Jabarut.
v Alam Malakut.
Alam
itu dibelakangku. Apabila engkau dapat melewatiku, niscaya engkau
sampai ke tempat itu. Pada tempat itu adalah lembah yang penuh
kenikmatan, jurang yang menakutkan, padang pasir yang membosankan,
gunung-gunung riya’, rimba pamer, lautan kesombongan dan kota keakuan.
Aku tidak mengerti, bagaimanakah engkau akan bisa selamat darinya.
Perjalanan di alam Malakut lebih sukar daripada perjalanan di alam
Jabarut. Apabila ia mampu berjalan di atas air tanpa menggunakan perahu,
maka ia telah berjalan di alam Malakut tanpa ada goncangan. Apabila
engkau tidak mampu berjalan di atas air, maka hendaklah engkau
berpaling. Engkau telah melewati bumi dan membelakangi perahu. Tidak ada
lagi di hadapanmu kecuali air yang jernih.
Permulaan
alam Malakut adalah musyahadah al qalam (menyaksikan al qalam) yang
dipergunakan untuk menulis ilmu pada papan tulis hati. Maka diperolehlah
keyakinan, yang dengan keyakinan itu, ia berjalan di atas air. Apakah
engkau tidak mendengar sabda Rasulullah saw tentang Nabi Isa as,
“Seandainya Isa keyakinannya bertambah, niscaya ia dapat berjalan di
udara.”, yaitu ketika dikatakan kepadanya bahwa ia dapat berjalan di
atas air.
Maka
sang ‘aku’ yang bertanya itu akhirnya berkata, “Sungguh aku heran
tentang urusanku dan hatiku merasa takut terhadap yang engkau sifatkan
dari bahayanya perjalanan. Aku tidak tahu, apakah aku mampu menempuh
padang pasir yang engkau sifatkan itu atau tidak? Apakah yang demikian
itu memiliki tanda?”
Maka
ilmu menjawab, “Benar ada.” “Bukalah pandangan matamu dan kumpulkan
sinar cahaya kedua matamu dan biji matamu ke arahku. Maka apabila tampak
bagimu al qalam yang dipergunakan untuk menulis pada papan tulis hati,
maka engkau hampir berhasil menempuh jalan ini, karena setiap orang yang
melewati alam Jabarut dan mengetuk salah satu pintu-pintu malakut,
niscaya dibukakan baginya dengan pena. Tidakkah kita perhatikan bahwa
Rasulullah saw pada permulaan urusannya dibukakan dengan al qalam, yaitu
ketika turun kepadanya ayatQS Al-‘Alaq 96: 1 – 5,
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang Menciptakan,
Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
Yang mengajar insan dengan kalam,
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Maka
sang ‘aku’ itu berkata, “Engkau telah membuka pandangan mataku dan
bijinya.
Demi Allah, aku tidak melihat sebatang bambu dan sebatang kayu.
Aku tidak melihat pena kecuali yang seperti ini.”
Maka
ilmu berkata, “Engkau telah pergi jauh mencari sesuatu pada tempatnya.
Apakah engkau tidak mendengar bahwa harta benda rumah itu menyerupai
pemilik rumah? Apakah engkau tidak tahu bahwa Allah swt tidak menyerupai
dzat-Nya pada zat-zat lain? Demikian pula tangan Allah tidak menyerupai
tangan-tangan makhluk. Qalam-Nya tidak menyerupai pena-pena yang lain.
Pembicaraan Allah tidak menyerupai pembicaraan-pembicaraan yang lain.
Garis tulisan-Nya tidak menyerupai garis-garis tulisan lain.
Urusan-urusan
ketuhanan ini datang dari alam malakut. Maka tidak ada tubuh pada dzat
Allah. Allah tidak berada pada suatu tempat, berbeda dengan selain-Nya.
Tangan-Nya bukanlah daging, tulang dan darah, berbeda dengan
tangan-tangan yang lain. Qalam-Nya bukanlah dari bambu. Papan tulis-Nya
bukanlah dari kayu. Pembicaraan-Nya bukan dengan suara dan huruf. Garis
tulisan-Nya bukanlah angka dan tulisan. Tinta-Nya bukanlah garam dan
kelat.
Kalau
engkau tidak menyaksikannya seperti ini, maka aku tidak melihatmu
melainkan seorang banci diantara tanzih (transenden) dan tasybih
(imanen) yang bolak-balik antara ini dan itu, tidak kepada mereka yang
ini dan tidak pula kepada mereka yang itu. Bagaimanakah engkau
menyucikan zat dan sifat Allah swt dari jisim dan sifat-sifat-Nya?
Bagaimanakah engkau menyucikan kalam Allah dari makna-makna huruf dan
suara, serta berhenti pada pada tangan, pena, papan tulis dan garis-Nya?
Apabila
engkau memahami dari sabda Rasulullah saw, ‘Sesungguhnya Allah SWT
menciptakan Adam menurut bentuk (fitrah)-nya,’ bentuk lahir yang dapat
ditangkap oleh pandangan mata, maka engkau adalah orang yang
menyerupakan secara mutlak, sebagaimana dikatakan, ‘Jadilah engkau orang
Yahudi sejati. Jika tidak, maka janganlah engkau mempermainkan Taurat.’
Kalau kita memahami dari sabda itu ‘bentuk’ batin yang dapat ditangkap
dengan pandangan hati, bukan dengan pandangan mata, maka kita telah
menyucikan Allah secara murni dan telah mengkuduskan-Nya secara nyata.
Pendekkanlah
jalan, karena sesungguhnya engkau berada di lembah Tuhan yang
disucikan. Dengarkanlah dengan bathinmu apa yang diwahyukan kepadamu.
Maka barangkali menemukan petunjuk di atas api. Barangkali engkau
dipanggil dari kemah ‘Arsy dengan apa yang dipanggilkan kepada Nabi Musa
as, Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu ... (QS Thaha 20: 12).
Ketika
sang ‘aku’ itu mendengar ilmu yang demikian, maka ia merasakan
kelengahan dirinya. Sesungguhnya ia adalah banci diantara tasybih
(imanen) dan tanzih (transenden). Maka hatinya menyala menjadi api
karena besarnya amarah pada dirinya sendiri ketika ia melihatnya dengan
mata kekurangan.
Minyaknya
yang terdapat dalam lubuk hatinya yang tidak tembus telah hampir
menerangi, sekalipun tidak tersentuh api. Maka ketika ilmu meniup
padanya dengan ketajamannya, maka minyak itu pun menyala. Kemudian ia
menjadi cahaya di atas cahaya. Kemudian ilmu berkata kepadanya,
“Pergunakanlah kesempatan ini sekarang dan bukalah matamu, barangkali
engkau menemukan petunjuk pada api itu.”
Kemudian
ia membuka matanya, maka dibukakan baginya Qalam Ilahiah. Tiba-tiba hal
itu tampak seperti yang disifatkan ilmu dalam penyucian. Qalam itu
bukanlah terbuat dari bambu dan bukan pula dari batang kayu, tidak
mempunyai kepala dan tidak pula mempunyai ekor. Senantiasa ia menuliskan
bermacam-macam ilmu dalam hati semua manusia. Seolah-olah dia memiliki
kepala Qalam pada setiap hati, sedangkan ia sendiri tak memilki kepala.
Maka
berlalulah keheranan dari sang ‘aku’ itu. Ia berkata, “sebaik-baik
teman adalah ilmu. Maka semoga Allah membalasnya dengan kebaikan jasanya
padaku. Karena, kini telah jelas bagiku akan kebenaran ceritanya
tentang sifat-sifat Qalam. Maka sesungguhnya, aku melihatnya sebagai
Qalam, bukan pena-pena yang lain.” Maka pada saat itu ia berpamitan dan
mengucapkan terima kasih kepada ilmu. Ia berkata, “Aku telah lama berada
padamu dan mondar-mandir kepadamu. Aku sekarang berazam untuk berkelana
kepada junjungan Qalam dan menanyakan tentang ihwalnya.”
Maka
ia berkelana dan berkata kepadanya, “Bagaimanakah keadaanmu? Engkau
senantiasa menuliskan ke dalam diri (hati) bermacam-macam ilmu dan
pengetahuan yang membangkitkan al iradah kepada al qadar dan
meneruskannya kepada yang ditakdirkan.”
Kemudian
Al Qalam menjawab pertanyaan sang diri, “Apakah engkau lupa terhadap
yang engkau lihat di alam mulk wa asy syahadah dan engkau mendengar dari
jawaban pena ketika engkau menanyakannya, kemudian engkau dipindahkan
kepada tangan?”
Maka ia menjawab, “Aku tidak melupakan hal itu.”
Al Qalam berkata lagi, “Maka jawaban itu seperti jawabannya.”
Sang ‘aku’ itu bertanya, “Bagaimanakah engkau tidak menyerupakannya?”
Al Qalam balik bertanya, “Apakah tidak mendengar bahwa Allah swt telah menciptakan Adam menurut bentuknya?”
Sang ‘aku’ itu menjawab, “Benar.”
Maka
Al Qalam berkata, “Maka tanyakanlah tentang diriku yang digelar dengan
tangan kanan Raja (Al Malik). Maka sesungguhnya aku berada dalam
genggaman-Nya. Raja itulah yang membolak-balikkanku. Aku dipaksa dan
ditundukkan. Maka tidak ada bedanya antara Qalam Ilahi dan pena manusia
dalam arti sama-sama ditundukkan. Sesungguhnya perbedaannya dalam bentuk
saja.”
Sang ‘aku’ itu bertanya, “Maka siapakah Tangan Kanan Raja (Al Malik) itu?”
Qalam balik bertanya, “Apakah kamu tidak mendengar firman Allah SWT, dan langit digulung dengan Tangan Kanan-Nya?’ QS Az Zumar 39 : 67.
Sang ‘aku’ itu menjawab, “Ya.”
Selanjutnya
Qalam itu bertanya, “Qalam-qalam seluruhnya juga berada dalam genggaman
Tangan Kanan-Nya. Dialah yang membolak-balikkannya,”
Kemudian
dari sisi Al Qalam, sang ‘aku’ itu pergi menuju Tangan Kanan, sehingga
ia disaksikan. Dari keajaiban-keajaibannya ia melihat sesuatu yang
menambah keajaiban Al Qalam. Tidak boleh menyifatkan sesuatu dari yang
demikian. Juga tidak boleh menjelaskannya. Akan tetapi berjilid-jilid
yang banyak tidak memuat sepersepuluhnya. Kesimpulannya, bahwa itu di
Tangan Kanan, yang tidak seperti tangan kanan – tangan kanan yang lain
dan jarinya pun tidak seperti jari-jemari yang lain. Maka ia melihat Al
Qalam itu bergerak-gerak dalam Genggaman-Nya. Sehingga jelaslah baginya
alasan Al Qalam. Kemudian ia bertanya kepada Tangan Kanan tentang
keadaannya dan sebabnya menggerakkan Al Qalam.
Maka
Tangan Kanan itu menjawab, “Jawabanku adalah seperti yang engkau telah
dengar dari tangan kanan yang engkau lihat di alam syahadah, yaitu
penyerahan kepada Al Qudrah. Karena Tangan Kanan itu tidak mempunyai
hukum pada dirinya sendiri. Sesungguhnya yang menggerakkan Tangan adalah
Al Qudrah secara pasti.”
Maka
sang ‘aku’ itu berkelana ke alam Al Qudrah. Dari keajaiban-keajaibannya
ia melihat sesuatu yang dipandang hina oleh apa yang dipandang
sebelumnya. Ia ditanya tentang sebabnya menggerakkan Tangan Kanan.
Al
Qudrah menjawab, “Sesungguhnya aku hanyalah sifat. Tanyakanlah hal itu
kepada Pemilik sifat Al Qudrah. Karena yang dipegang adalah kepada yang
disifati, bukan kepada sifat. Ketika itu, ia hampir tergelincir dan
melepaskan lisan pertanyaan dengan berani. Ia diseru dari belakang
dinding kemah junjungan Ilahi, ‘Dia tidak ditanya tentang apa yang
diperbuat-Nya, namun merekalah yang akan ditanyai.’ QS Al Anbiya 21: 23.
Maka
ia jatuh pingsan karena hebatnya ketakutan kepada junjungan Ilahi. Lalu
ia jatuh tersungkur dengan gemetar tubuhnya. Setelah sadar, ia berkata,
“Maha Suci Allah, alangkah Agung Keadaan-Mu. Aku bertaubat kepada-Mu.
Aku bertawakkal kepada-Mu. Aku yaqin bahwa Engkau adalah Raja, Yang Maha
Perkasa, Yang Maha Esa dan Yang Maha Kuasa. Maka aku tidak takut kepada
selain-Mu. Aku tidak mengharap kepada selain-Mu. Aku tidak berlindung
kecuali dengan pengampunan-Mu dari siksaan-Mu dan dengan keridhaan-Mu
dari murka-Mu.”