Dari
sumber-sumber Belanda, jelas Banyuwangi diIslamkan oleh Kumpeni. Dan
semenjak diIslamkan itulah, para wali mulai muncul di Banyuwangi. Diantaranya
adalah Mbah Mas Mohamad Saleh yang biasa dipanggil Mas Saleh, yang mengajarkan
syariat Islam, hakekat dan makrifat, dengan bukti adanya masjid miliknya.
Sampai sekarang masjid tersebut masih berdiri di daerah Sukowidi-Banyuwangi
dengan nama masjid Al Mas Mochamad Saleh.
Barangkali
sebagai dampak dari pemerintah Hindia Belanda yang tidak memberikan pendidikan
bagi masyarakat, maka banyak lahir pelaku tasawuf. Para pelaku tasawuf di
Banyuwangi pada abad XIX dan awal abad XX diantaranya adalah Mbah Mas Saleh yang
senang bertapa menyendiri di sebuah bukit yang disebut Buluh Payung, di bagian
barat Banyuwangi. Mbah Mas Saleh wafat pada 1918. Demikian juga RT
Pringgokusumo yang menjadi bupati Banyuwangi pada 1867–1881, juga gemar bertapa
di bukit Selogiri, di daerah Banyuwangi bagian utara. Hal ini berbeda dengan
keadaan sekarang, dimana semua orang berlomba-lomba mengejar dan bersaing dalam
bidang pendidikan dan mengejar karir duniawi, sehingga hampir tidak ada lagi
para pelaku makrifatullah.
Mas
Mochamad Saleh mencintai Allah melalui pendekatan makrifat, yaitu bersusah
payah berupaya mendapatkan pengetahuan lebih tentang Tuhan, berupaya mengetahui
struktur semesta Allah atau berupaya memahami derajat wahyu Allah. Meskipun
kebanyakan manusia tidak berani atau tidak mampu memahami esensi Allah.
Dari Abu Hurairah r.a. menyatakan bahwa Rasulullah s.a.w.
bersabda bahwa ada tujuh orang yang dinaungi Allah pada hari dimana tidak ada
naungan, kecuali naungan Allah. Diantara tujuh orang tersebut adalah orang yang
berdzikir hingga bercucuran air mata.
Menurut
Kiai Harun dari Tukang Kayu Banyuwangi, Mbah Mas Saleh menggembleng 20 orang
ulama di rumah beliau di Manggisan sebelum beliau kembali ke Allah, diantaranya
adalah Kiai Kholil dari Bangkalan, Kiai Syamsul Arifin, bapak Kiai As’ad dari
Situbondo. Kiai Harun mengaku sebagai yang termuda dari kedua puluh orang
tersebut.
Menurut
pak Janoto, seorang pendekar silat yang sampai sekarang masih hidup, Mbah Mas Saleh menyampaikan pesan kepada para sesepuh
Temenggungan-Banyuwangi, bahwa ilmu tertinggi adalah ilmu Allah. Ilmu-ilmu yang
lain hanyalah cabang-cabangnya saja. Dengan demikian orang-orang yang mencintai
Allah akan mendapatkan karomah (kemuliaan) dan mukjizat dari Allah tanpa
melakukan laku keilmuan.
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sesungguhnya Allah Yang Maha
Mulia dan Maha Besar berfirman, “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku
telah mengumumkan perang kepadanya. Hamba-Ku tidak mendekatkan diri kepada-Ku dengan
sesuatu yang paling Aku sukai, daripada sesuatu yang Aku fardhukan atasnya.
Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sunat-sunat sampai Aku
mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku menjadi Pendengaran untuk
pendengarannya, Penglihatan untuk penglihatannya, Tangan untuk perbuatannya dan
Kaki untuknya berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku benar-benar
memberinya, jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku benar-benar
melindunginya. Dan Aku tidak bimbang terhadap sesuatu yang Aku lakukan, seperti
kebimbangan-Ku terhadap jiwa [nafsi] hamba-Ku yang beriman yang tidak senang
mati, sedang Aku tidak senang berbuat buruk terhadap-Nya.”
Hadits yang
diriwayatkan baik oleh Bukhari maupun Muslim di atas, dengan jelas sekali
menggambarkan kemuliaan yang dengan sendirinya akan diperoleh bagi orang yang
cinta kepada Allah dan salah satunya terbukti dengan berbagai kesaksian
kemuliaan yang diperoleh Mbah Mas Saleh.
Menurut
Mbah Rokyan, juga seorang pendekar silat dari Singotrunan-Banyuwangi, Mbah Mas
Saleh tidak tidur selama 17 tahun, sedangkan Mbah Haji Ridwan (muridnya) dari
desa Kelir–Banyuwangi ketika dilatih di Watu Dodol untuk tidak tidur, hanya
mampu bertahan 13 hari.
Kenapa orang Patrap selalu membicarakan kesaktian?
Bukan karena kesaktian itu yang menjadi tujuan. Bukan pula Patrap untuk mencari kesaktian. Namun kesaktian adalah untuk menjadi saksi atas kedekatan mereka kepada Tuhan.
Tentunya Patrap tidak dicapai melalui kesadaran, tetapi Jiwa atau Sang Diri yang hadir kepada Tuhannya.